“Barangkali kalau dibagi saja menjadi  beberapa negara maka lebih makmur kondisi masyarakatnya”, pendapat salah  satu Kakak yang searah dengan idenya Amin rais menjelang pilpres  langsung yang pertama kalinya dulu. Kalaupun terjadi negara-negera  bagian, waah tentu kami juga kerepotan  karena kita tinggal terpisah  jauh, ada di Sulawesi, Jawa dan Sumatra. Memang realita segala sesuatu  kadang  tidak semudah yang dibayangkan atau bahkan sebaliknya, ada hal  yang susah dibayangkan tetapi malah mudah dalam kenyataannya. Diskusi  ringan dan yang tidak berfollow up karena kita bukan dalam posisi  pengambil kebijakan, yaa..kami bersaudara sekedar belajar berfikir untuk  menciptakan suasana diskusi yang encer mengalir setelah sekian lama  tidak saling bertemu.
Kalau kita  flash back walaupun kita belum lahir, sudahkah kita tahu sebenarnya nama  Indonesia sebagai negara kita itu asal mulanya bagaimana ? (arti,  pemberi nama dan kapan). Apapun profesi kita, akan lebih baik apabila  kita mengetahuinya sebagaimana artikel berikut !
Pada  zaman purba, kepulauan tanah air   disebut dengan aneka nama.  Dalam   catatan bangsa Tionghoa kawasan   kepulauan tanah air dinamai  Nan-hai    (Kepulauan Laut Selatan).   Berbagai catatan kuno bangsa Indoa   menamai   kepulauan ini Dwipantara  (Kepulauan Tanah Seberang), nama  yang    diturunkan dari kata  Sansekerta dwipa  (pulau) dan antara (luar,    seberang).  Kisah  Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan  pencarian    terhadap  Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke  Suwarnadwipa   (Pulau  Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di  Kepulauan   Dwipantara.
Bangsa Arab  menyebut  tanah air kita  Jaza’ir  al-Jawi (Kepulauan  Jawa).   Nama Latin untuk  kemenyan adalah  benzoe,  berasal dari bahasa  Arab luban  jawi  (kemenyan  Jawa), sebab  para  pedagang Arab memperoleh  kemenyan dari  batang pohon  Styrax  sumatrana yang dahulu hanya tumbuh  di  Sumatera.  Sampai hari ini   jemaah haji kita masih sering dipanggil  “Jawa” oleh  orang Arab. Bahkan   orang  Indonesia luar Jawa sekalipun.   Dalam bahasa  Arab juga  dikenal   Samathrah (Sumatra), Sholibis  (Sulawesi), Sundah   (Sunda),  semua pulau  itu  dikenal sebagai kulluh  Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa  Eropa yang pertama kali   datang beranggapan bahwa Asia   hanya terdiri  dari Arab, Persia, India  dan Tiongkok. Bagi mereka,  daerah  yang   terbentang luas antara Persia   dan Tiongkok semuanya  adalah  “Hindia”.  Semenanjung Asia Selatan  mereka sebut “Hindia Muka”  dan  daratan Asia  Tenggara dinamai “Hindia  Belakang”. Sedangkan tanah  air   memperoleh nama  “Kepulauan Hindia”   (Indische Archipel, Indian    Archipelago, l’Archipel  Indien) atau  “Hindia Timur” (Oost  Indie, East   Indies, Indes  Orientales). Nama  lain yang juga  dipakai adalah  “Kepulauan  Melayu”   (Maleische  Archipel, Malay  Archipelago,  l’Archipel Malais).
Pada  jaman penjajahan Belanda, nama  resmi yang  digunakan adalah    Nederlandsch-Indie  (Hindia Belanda),  sedangkan  pemerintah pendudukan    Jepang  1942-1945 memakai istilah  To-Indo  (Hindia Timur).
Eduard  Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ),   yang dikenal dengan nama  samaran   Multatuli,  pernah mengusulkan nama  yang spesifik untuk  menyebutkan   kepulauan  tanah air kita, yaitu  Insulinde,  yang artinya  juga “Kepulauan   Hindia”  ( Bahasa Latin  insula berarti pulau). Nama  Insulinde ini kurang   populer.
Indonesia
Pada   tahun 1847 di Singapura terbit  sebuah majalah ilmiah tahunan,   Journal  of the Indian Archipelago and   Eastern Asia (JIAEA),  yang   dikelola oleh  James Richardson  Logan (  1819 – 1869 ), seorang  Skotlandia  yang meraih  sarjana  hukum dari  Universitas Edinburgh.   Kemudian pada  tahun 1849  seorang ahli   etnologi bangsa Inggris, George   Samuel Windsor  Earl ( 1813 –  1865 ),  menggabungkan diri  sebagai  redaksi majalah JIAEA.
Dalam   JIAEA Volume IV tahun 1850,   halaman 66-74, Earl menulis  artikel On   the  Leading Characteristics  of the Papuan, Australian and    Malay-Polynesian  Nations. Dalam  artikelnya itu Earl menegaskan  bahwa   sudah tiba saatnya  bagi  penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan   Melayu  untuk memiliki  nama  khas (a distinctive name), sebab nama  Hindia  tidaklah tepat  dan   sering rancu dengan penyebutan India yang  lain. Earl  mengajukan  dua   pilihan nama: Indunesia  atau Malayunesia  (nesos dalam  bahasa Yunani   berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya   itu tertulis:
“…  the inhabitants  of the Indian  Archipelago or Malayan  Archipelago  would  become  respectively  Indunesians or Malayunesians”.
Earl  sendiri menyatakan memilih nama  Malayunesia (Kepulauan Melayu)   daripada  Indunesia (Kepulauan   Hindia), sebab Malayunesia  sangat  tepat  untuk ras  Melayu,  sedangkan  Indunesia bisa juga  digunakan  untuk Ceylon (Srilanka) dan Maladewa.  Earl berpendapat juga bahwa bahasa  Melayu   dipakai di seluruh   kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl  memang   menggunakan istilah  Malayunesia dan tidak memakai  istilah  Indunesia.
Dalam   JIAEA Volume IV itu juga, halaman  252-347, James Richardson  Logan    menulis artikel The Ethnology of  the  Indian Archipelago. Pada  awal   tulisannya, Logan pun menyatakan   perlunya nama khas bagi  kepulauan tanah   air kita, sebab istilah  “Indian Archipelago” terlalu  panjang  dan   membingungkan. Logan  memungut nama Indunesia yang dibuang  Earl, dan   huruf u digantinya   dengan huruf o agar ucapannya lebih  baik. Maka   lahirlah istilah  Indonesia.
Untuk pertama  kalinya kata Indonesia  muncul  di dunia dengan  tercetak  pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr.   Earl suggests the  ethnographical term Indunesian, but  rejects it  in   favour of  Malayunesian. I prefer the purely  geographical term    Indonesia, which  is merely a shorter synonym for  the Indian Islands or    the Indian  Archipelago”.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia”   agaknya Logan tidak  menyadari  bahwa  di kemudian hari nama itu akan   menjadi nama resmi.  Sejak saat  itu Logan  secara konsisten menggunakan   nama “Indonesia” dalam  tulisan-tulisan   ilmiahnya, dan lambat laun   pemakaian istilah ini  menyebar di kalangan   para ilmuwan bidang  etnologi  dan  geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di  Universitas  Berlin yang  bernama  Adolf Bastian (1826 – 1905 )   menerbitkan buku  Indonesien oder  die  Inseln  des Malayischen Archipel  sebanyak lima  volume, yang   memuat hasil  penelitiannya ketika  mengembara ke tanah air  pada tahun   1864 sampai  1880. Buku Bastian  inilah yang memopulerkan  istilah  “Indonesia” di  kalangan sarjana   Belanda, sehingga sempat timbul   anggapan bahwa istilah  “Indonesia”  itu ciptaan Bastian. Pendapat yang   tidak benar  itu, antara  lain  tercantum dalam Encyclopedie  van   Nederlandsch-Indie tahun 1918.   Padahal Bastian mengambil  istilah   “Indonesia” itu dari  tulisan-tulisan  Logan.
Pribumi  yang  mula-mula menggunakan  istilah “Indonesia”  adalah  Suwardi  Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).  Ketika dibuang  ke negeri  Belanda  tahun 1913  beliau mendirikan  sebuah biro pers dengan  nama  Indonesische   Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga  diperkenalkan  sebagai  pengganti   indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis  van Vollenhoven  (1917).  Sejalan   dengan itu, inlander (pribumi)  diganti dengan  indonesiƫr (orang   Indonesia).
Identitas  Politik
Pada  dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia”  yang merupakan istilah   ilmiah   dalam etnologi dan geografi itu  diambil alih oleh tokoh-tokoh   pergerakan   kemerdekaan tanah air kita,  sehingga nama “Indonesia”  akhirnya  memiliki  makna  politis, yaitu  identitas suatu bangsa yang   memperjuangkan  kemerdekaan.  Akibatnya  pemerintah Belanda mulai curiga   dan waspada  terhadap  pemakaian kata  ciptaan Logan itu.
Pada  tahun 1922 atas inisiatif  Mohammad  Hatta, seorang  mahasiswa  Handels   Hoogeschool (Sekolah Tinggi  Ekonomi) di Rotterdam, organisasi  pelajar   dan  mahasiswa Hindia di  Negeri Belanda (yang terbentuk tahun  1908 dengan    nama Indische  Vereeniging berubah  nama menjadi  Indonesische  Vereeniging   atau  Perhimpoenan Indonesia.  Majalah  mereka, Hindia Poetra,   berganti   nama menjadi Indonesia  Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam  tulisannya :
“Negara Indonesia  Merdeka  yang akan  datang (de toekomstige  vrije  Indonesische staat)  mustahil  disebut  “Hindia Belanda”. Juga  tidak  “Hindia” saja, sebab  dapat  menimbulkan  kekeliruan dengan India  yang  asli. Bagi kami nama  Indonesia   menyatakan suatu tujuan politik  (een  politiek doel), karena    melambangkan dan mencita-citakan suatu  tanah air  di masa depan, dan    untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia  (Indonesier)  akan berusaha    dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Di tanah air Dr.  Sutomo mendirikan   Indonesische Studie Club pada   tahun  1924). Pada tahun  1925, Jong   Islamieten Bond membentuk  kepanduan  Nationaal Indonesische   Padvinderij (Natipij). Itulah tiga  organisasi di   tanah air yang   mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.  Akhirnya nama  “Indonesia”   dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa  dan  bahasa pada  Kerapatan   Pemoeda-Pemoedi  Indonesia tanggal 28  Oktober 1928, yang kini  dikenal   dengan  sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga  orang  anggota  Volksraad (Dewan Rakyat;   parlemen Hindia Belanda),   Muhammad  Husni Thamrin, Wiwoho   Purbohadidjojo  dan Sutardjo   Kartohadikusumo,  mengajukan mosi kepada  Pemerintah Hindia   Belanda agar  nama  “Indonesia”  diresmikan sebagai  pengganti nama   “Nederlandsch-Indie”.   Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan  jatuhnya tanah air ke  tangan  Jepang pada tanggal 8 Maret  1942,   lenyaplah nama “Hindia Belanda”.  Dan setelah itu  lahirlah  bangsa   Indonesia.
Diambil dari : Adiwarsito.wordpress